Denpasar – Puncak acara Festival Kesenian Rakyat Nusantara yang digelar oleh STIKOM Bali Group di obyek wisata Tukad (sungai) Bindu, Kesiman, Denpasar Timur, Minggu (28/07/2024) malam sungguh memukau. Tak tanggung-tanggung, puncak acara itu diisi dengan penampilan Tari Topeng Arsawijaya yang dibawakan oleh seorang guru besar yakni Prof. Dr. I Made Bandem, MA., seorang seniman Bali berkelas dunia. Di depan ratusan penonton, Prof. Made Badem yang usianya menjelang 80 tahun ini terlihat masih energik, gerak tubuhnya terlihat lincah. Itulah yang membuat kagum para penonton, terutama jajaran pejabat ITB STIKOM Bali. Maklum Prof. Dr. I Made Bandem, MA adalah pendiri ITB STIKOM Bali bersama Drs. Ida Bagus Dharmadiaksa, M.Si., Ak., Dr. Dadang Herman, dan Drs. Satrya Dharma, pada 10 Agustus 2002 atau 22 tahun lalu. Sehari-hari, Prof. Dr. I Made Bandem, MA adalah Pembina Yayasan Widya Dharma Shanti, induk ITB STIKOM Bali.
Ditemui awak media usai menari, Prof. Made Bandem menuturkan Tari Topeng Dalem Arsawijaya menggambarkan cerita dari sastra babad atau sejarah silsilah kerajaan, pura, dan keluarga kerajaan Bali di masa lampau. “Tokoh Arsawijaya menggambarkan sosok yang mengacu pada watak raja yang halus dan bermartabat serta melambangkan sifat-sifat ideal raja-raja Nusantara dan Bali,” jelas Prof. Bandem didampingi Rektor ITB STIKOM Bali Dr. Dadang Hermawan.
Prof. Made Bandem mengakui, Tari Topeng Dalem Arsawijaya sangat disukainya yang dipelajari dari orangtuanya, karena tarian ini membawa simbol kemurnian dalam pikiran, kebenaran dalam tindakan dan yang terpenting anggun dalam kehadirannya. Lalu siapakah sosok Dalem Arsawijaya itu? Menurut Prof. Bandem, sesungguhnya Dalem Arsawijaya adalah seorang Raja Majapahit dengan nama lain Raden Wijaya. Menariknya topeng yang digunakan untuk menari malam itu adalah hadiah dari orangtuanya tahun 1956, yang merupakan pemberian dari Raja Bangli terakhir “Tapi ini kan baru pertama kali tampil. Mudah-mudahan tahun depan, bulan depan, saya bisa menari yang lain, karena pada waktu kecil, saya belajar menari Baris, kemudian belajar tari Gebyar Duduk dari Mario (Ketut Marya) dan Wayan Rindi, suatu saat juga saya akan menarikan Gebyar Duduk dan tari kebyar-ebyar yang lainnya,” imbuhnya.
Pada tahun 1960-an, diakui banyak bekerja sama dengan seniman Wayan Berata yang mengajar tari Kebyar Duduk di seluruh Bali. “Saya ingin juga mengingat masa lalu, mumpung sudah hampir 80 tahun sebagai penari, guru tari dan lain-lainnya. Tempat ini (Tukad Bindu), tentu saja, berbeda dengan panggung yang disiapkan di Art Center Denpasar,” sebutnya. Menurut suami dari Dr. NLN Swasthi Wijaya Bandem ini, apabila lokasinya di Art Center terdapat panggung terbuka namanya tapal kuda hingga panggung tertutup, yang tentunya berbeda dengan panggung di Tukad Bindu, Kesiman, Denpasar yang dominan bersentuhan langsung dengan suasana alam dan sungai. Ia ingin memanfaatkan alam lingkungan, karena bagi masyarakat di sini, Tukad Bindu dijadikan sebagai tempat bersosialisasi dan tempat mencari identitas sekaligus tempat mencari penghidupan. “Jadi, ke depan tantangan besar, memang memanfaatkan lingkungan ini sebagai teater tempat pementasan, apalagi di sebelah ada sungai, sehingga bisa diciptakan tari-tarian berkaitan dengan lingkungan,” tutup Prof. Bandem.
Untuk pentas malam itu para penari dan penabuh adalah pelajar dan mahasiswa. Karenanya Prof. Made Bandem berharap, ITB STIKOM Bali sebagai suatu lembaga yang mengelola IT, bisnis dan juga kebudayaan mulai mengadakan kegiatan-kegiatan seperti ini, dengan melibatkan pelajar dan mahasiswa. “Kita berikan pelajaran kepada mereka, tidak saja tentang manajemen kesenian yang dipelajari dengan TI, tapi juga mencari konten-konten yang berbasis digital. Ini kan merupakan dokumentasi, sekali didokumentasikan digital ini, saya rasa terus menerus akan ada di platform digital seperti itu. Bagi saya itu sangat penting sebagai sumber penciptaan masa depan,” terangnya lagi.
Menanggapi penampilan Prof. Dr. I Made Bandem, MA ini, Rektor ITB STIKOM Bali Dr. Dadang Hermawan menyatakan kagum dan menyebut Prof. Bandem idolanya sejak lama. “Saya kagum dengan beliau dan idola saya dari dulu. Orangnya simple, sederhana, tapi mendunia dan tidak lupa juga dengan asal-usul daripada beliau. Itu bisa dijadikan suatu model bagi saya dan juga anak-anak kita. Beliau orang globalisasi tapi beliau tidak melupakan lokalnya bahkan asal-usulnya,” cetus Dadang Hermawan.
Dadang Hermawan juga memberi apresiasi atas penampilan pelajar dan mahasiswanya sebagai penabuh dan penari. Dadang Hermawan dengan bangga mengatakan ITB STIKOM Bali adalah kampus yang memadukan seni budaya dan IT. “Bahkan kami punya laboratorium gamelan agar para mahasiswa bisa belajar tarian dan tabuh,” pungkasnya.(*)